Catatanbatam – Ledakan hebat yang mengguncang PT ASL Shipyard di kawasan industri Tanjunguncang, Batam, Selasa (24/6/2025), menewaskan empat pekerja dan melukai lima lainnya.
Namun, lebih dari dua pekan setelah tragedi itu, manajemen perusahaan memilih bungkam. Publik kini menyorot dugaan pembungkaman informasi, kelalaian sistemik, dan lemahnya pengawasan keselamatan kerja di salah satu galangan kapal terbesar di Batam itu.
Ledakan terjadi di kapal Floating Storage and Offloading (FSO) Federal II yang tengah diperbaiki. Korban meninggal dunia seluruhnya adalah pekerja dari dua subkontraktor: PT Manchar Marine Batam (MMB) dan PT Ocean Pulse Solution (OPS). Hingga kini, tidak ada pernyataan resmi dari manajemen ASL maupun dari pihak subkontraktor.
Tragedi yang Menelan Nyawa: Daftar Korban
Empat korban tewas dalam insiden itu:
Gunawan Sinulingga (46) – Warga Kibing, Batuaji
Hermansyah Putra (30) – Tanjung Uban Utara, Bintan
Berkat Setiawan Gulo (22) – Tapanuli Tengah
Janu Arius Silaban (24) – Tapanuli Tengah
Sementara itu, lima korban luka, termasuk Upik Abdul Wahid (32) yang mengalami luka bakar hampir di seluruh tubuh, masih menjalani perawatan intensif. Satu korban selamat, Alatas Manopan Silaban (31), disebut menjadi saksi kunci karena mampu memberikan keterangan awal.
Upaya konfirmasi ke pihak manajemen ASL tidak membuahkan hasil. Aparat kepolisian pun belum bersuara. Kasat Reskrim Polresta Barelang, Kompol Debby Andrestian, tidak merespons permintaan konfirmasi wartawan. Padahal, publik menanti kejelasan: apakah tragedi ini murni kecelakaan, atau buah dari kelalaian fatal dalam penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)?
Direktur Eksekutif Lemkapi, Dr. Edi Saputra Hasibuan, menyoroti lambannya proses penyelidikan. “Jangan hanya gencar di kasus lain seperti di PT VME Process atau SSM. Tragedi ASL ini harus diusut dengan transparan,” ujarnya.
Polanya Berulang, Nyawa Melayang Tanpa Perbaikan
Insiden ini bukan yang pertama. Pada Maret 2021, seorang pekerja bernama Petrick Natanael Sitompul tewas akibat jatuh dari ketinggian 25 meter di kapal milik ASL. Namun, perusahaan tetap berjalan seperti biasa tanpa ada koreksi sistemik.
Kepala Ombudsman Kepri, Lagat Siadari, menganggap kejadian ini sebagai bagian dari pola berulang. “Setiap kali nyawa melayang, selalu disebut ‘human error’. Padahal, pengawasan K3 lemah, SOP longgar, dan keselamatan pekerja diabaikan,” katanya.
Jika terbukti ada kelalaian yang menyebabkan kematian, perusahaan induk maupun subkontraktor dapat dijerat dengan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian dan Pasal 304 KUHP tentang pembiaran orang dalam bahaya.
Komisi Informasi Kepri juga ikut bersuara. Ketua Komisi, Encik Afrizal, menyayangkan sikap tertutup aparat dan perusahaan. “Kasus-kasus seperti ini terlalu sering dibungkam, baik oleh perusahaan maupun otoritas,” ujarnya.
Dinas Tenaga Kerja Kepulauan Riau pun didesak turun tangan. Audit menyeluruh terhadap sistem K3 di ASL Shipyard menjadi keharusan, bukan pilihan. Terlalu banyak nyawa melayang, terlalu lama publik dibungkam. (jim)
Komentar